Kamis, 06 November 2008

AQSAM AL-QUR’AN (Sumpah Al-Qur’an)

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Secara berangsur-angsur selama + 23 tahun, baik di Madinah maupun di Mekkah. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah berfungsi untuk merekonstruksikan adat istiadat jahiliyah yang menyimpang dari tata nilai ketuhanan yang agung. Dengan turunnya Al-Qur’an, berubahlah peradaban jahiliyah menjadi peradaban Islam yang penuh dengan nilai-nilai ketuhanan yang tinggi, di mana harkat dan martabat manusia di junjung dan dihormati antar sesama.

Turunnya Al-Qur’an di dunia Arab tidak semata-mata di terima oleh bangsa Arab, tetapi mengalami perlawanan yang tak henti-hentinya dari mereka. Alasannya tidak lain bahwa Al-Qur’an adalah alat propoganda yang dibuat-buat oleh Muhammad untuk menghasut masyarakat Arab untuk meninggalkan sesembahan mereka, berhala. Akan tetapi, hal ini terbantahkan dengan realita bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang ‘ummu (tidak bisa baca membaca dan menulis). Hal itu untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar murni berasal dari Allah.
Salah satu mukjizat Al-Qur’an yang tak terbantahkan lagi adalah ketinggian bahasa dan sastra Al-Qur’an. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mampu mendatangkan semisalnya, walaupun hanya satu ayat saja. Sehingga, dari sinilah muncul berbagai disiplin ilmu linguistik, seperti nahwu (tata bahasa Arab) dan balaghah (sastra). Dan salah satu aspek kebahasaan yang menarik untuk dikaji dari Al-Qur’an adalah tentang aqsam Al-Qur’an (kata-kata sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an).
Secara historis, turunnya Al-Qur’an tidak bisa diabaikan begitu saja dengan tradisi Arab di mana ia diturunkan. Munculnya Aqsam Al-Qur’an pung tidak terlepas dari tradisi bangsa Arab pada waktu. Sejarah bangsa Arab menuturkan bahwa sumpah termasuk bagian dari tradisi yang telah lama dianut oleh masyarakat Arab. Mereka bersumpah bila bermaksud untuk menguatkan pernyataan mereka, atau untuk menegaskan perintah, atau menghilangkan keraguan dari lawan bicara. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Bedanya, sebelum mereka memeluk Islam, sumpah yang mereka ucapkan adalah atas nama latta dan Uzza sesembahan mereka, sedangkan setelah memeluk Islam, sumpah yang mereka ucapkan atas nama Allah.
Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang hakekat qasam Al-Qur’an dengan bagian-bagiannya; definisi, singkat, unsur-unsur ungkapan-ungkapan dan faedah penggunannya dalam Al-Qur’an serta hal-hal yang berhubungan dengannya.

B. Pembahasan
1. Defenisi Aqsam Al-Qur’an
Secara etimologi kata (Aqsam) adalah bentuk jamak dari (qasam) yang berarti atau (sumpah). Sedangkan secara terminologi, qasam berarti suatu kalimat yang memberi penegasan atau ta’kid terhadap berita atau tuntunan yang disampaikan.
Menurut Manna’ Khalil Al-Qatman atau adalah pengikat jiwa agar tidak melakukan sesuatu yang atau melakukan sesuatu dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh yang bersumpah itu.
Kemudian, Manna’ Al-Qatham menjelaskan bahwa meskipun kata Al-Qasam bersinonim dengan kata Al-Yamin atau Al-Hilf, tapi ada perbedaan antara keduanya. Menurutnya, Al-Qasam lebih cenderung kepada sesuatu yang lebih besar dan dipandang dapat mempengaruhi jiwa, sedangkan Al-Yamin memiliki maksud untuk menghilangkan pertentangan atau bantahan tanpa mempengaruhi jiwa. Selanjutnya kata Al-Yamin (tangan kanan) dipakai karena tradisi Arab yang sering mengulurkan atau memegang tangan kanan ketika bersumpah kepada orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa terminologi Al-Qasam lebih umum dan lebih sering digunakan dari pada dua kata tersebut diatas.
Dari penjelasan defenisi di atas, qasam dapat di formulasikan seabagai suatu cara atau ungkapan dan ucapan dengan bentuk dan cara tertentu untuk menyakinkan mukhathah (orang yang diajak bicara/orang lain) tentang kebenaran yang disampaikan oleh orang yang melaksanakan sumpah. Sedangkan qasam yang terdapat dalam Al-Qur’an tidaklah berbeda dengan tujuan itu, yaitu untuk menguatkan orang yang masih ragu-ragu akan kandungan Al-Qur’an.
2. Sighat dan Unsur-unsur Qasam
Sighat qasam yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an adalah sighat fi’il atau kata kerja Aqsama atau ahlafa yang ditransitifkan (muta’addi) dengan huruf ba untuk sampai kepada maqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), lalu disusul dengan maqsam ‘alaih (sesuatu yang karena sumpah diucapkan), yang dinamakan dengan jarwah qasam. Contoh dari sighat qasam tersebut adalah :




Pada ayat tersebut diatas bisa dijabarkan sebagai berikut :
3. (Allah) adalah muqsam bih
(Allah tidak akan membangkitkan orang mati) adalah muqsam ‘alaih atau jawab qasam.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalam sighat qasam itu ada empat :
Yaitu :
1) Fi’il qasam
2) Huruf qasam
3) Muasam bih
4) Muqsam ‘alaih atau jawab qasam
Keempat unsur ini harus ada dalam setiap sighat qasam. Namun, kerena qasam itu sering digunakan dalam percakapan. Maka biasanya diringkas, yaitu dengan cara menghilangkan fi’il qasam dan diganti dengan huruf qasam; ba atau wawu atau ta, seperti :



Namun, jika diperhatikan dalam penggunaan-penggunaan sighat qasam yang menggunakan huruf ba dan ta ini sangat jarang sekali ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan, yang menggunakan huruf ba itu hanya ayat an-Nahl diatas dan an-Nur ayat 53. itupun disertai dengan fiil qasam, seperti :
              •  •     
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, Pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Jika melihat pada bentuk-bentuk qasam, tidak semua fi’il qasam menggunakan kata kerja yang secara jelas artinya sumpah sebagaimana dalam contoh-contoh tersebut diatas, seperti :




Lafadz (mengambil janji) pada ayat diatas diartikan dengan . Para mufasir mengfungsikan ayat tersebut sebagai suatu qasam, sedangkan lafadz (hendaklah kamu menerangkan) sebagai jawab qasam.
Unsur berikutnya adalah qasam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah). Dalam hal ini, terkadang Allah bersumpah dengan menggunakan dirinya sendiri dan terkadang dengan nama makhluknya. Ketika bersumpah dengan nama atau Dzat-Nya yang kudus atau dengan sifat-sifatnya yang khusus, itu berarti untuk meneguhkan eksistensi diri dan sifat-sifatNya yang tinggi. Sedangkan ketika Allah bersumpah dengan nama makhlukNya, maka hal itu untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang besar. Selain itu, juga menunjukkan bahwa makhluk itu ada yang menciptakan dan mengendalikan yaitu Allah. Juga untuk menunjukkan suatu manfaat atau nilai-nilai yang terkandung dalam makhluk tersebut agar menjadi pelajaran bagi manusia.
Allah telah bersumpah dengan menggunakan Dzat-Nya sendiri dalam Al-Qur’an pada tujuh tempat.
1) Surat At-Taubah ayat 7
                     •    
Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

2) Surat Saba’ ayat 3
          •                        
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)",

3) Surat Yunus Ayat 53
              
Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".

4) Surat Maryam ayat 68
        
Demi Tuhanmu, Sesungguhnya akan kami bangkitkan mereka bersama syaitan, Kemudian akan kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.

5) Surat Al-Hijr ayat 92
 •  
Maka demi Tuhanmu, kami pasti akan menanyai mereka semua,

6) Surat An-Nisa’ ayat 65
                   
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

7) Surat Al-Ma’arij ayat 40
       
Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat, Sesungguhnya kami benar-benar Maha Kuasa.

Selain pada ketujuh ayat itu, semua sumpah dalam Al-Qur’an adalah dengan menggunakan nama makhluk-Nya seperti :
1) Surat Asy-Syams ayat 1-7
       •                   
1. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
2. Dan bulan apabila mengiringinya,
3. Dan siang apabila menampakkannya,
4. Dan malam apabila menutupinya
5. Dan langit serta pembinaannya,
6. Dan bumi serta penghamparannya,
7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

2) Surat Al-Lail ayat 1-3
    •        
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
2. Dan siang apabila terang benderang,
3. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,

3) Surat Al-Fajr ayat 1-4
           
1. Demi fajar,
2. Dan malam yang sepuluh
3. Dan yang genap dan yang ganjil,
4. Dan malam bila berlalu.

4) Surat At-Tin ayat 1-2
 •    
1. Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun
2. Dan demi bukit Sinai

Setelah menelaah contoh-contoh diatas, maka muncullah beberapa analisa tentang penggunaan qasam tersebut. Mengapa Allah bersumpah, dan lebih banyak menggunakan nama makhluk-Nya, apa sebenarnya hikmah yang terkandung di balik sumpah-sumpah itu.
Manna’ Al-Qahan menyebutkan bahwa secara apologis bisa saja Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya sesuai keinginan-Nya, dan sumpah Allah kepada makhluk-Nya menujukkan kebesaran Allah swt.
Ahmad Badawi, mengemukakan bahwa sumpah Allah dengan Dzat-Nya adalah untuk menunjukkan ke-Mahabesaran-Nya, sedangkan sumpah Allah dengan mengatasnamakan makhluknya menunjukkan bahwa pada muqsam bih yang digunakan terdapat unsur-unsur tertentu yang perlu diperhatikan dan dikaji lebih jauh bagi kemaslahatan manusia itu sendiri, di samping memikirkan penciptaannya obyek sumpah tersebut perlu pengkajian dan pemahaman lebih lanjut, karena biasanya adalah suatu yang sangat penting, namun kurang dipahami oleh kebanyakan orang.
Ada juga yang memahami bahwa setidaknya ada dua unsur penting dalam muqsam bih tersebut, Pertama ada suatu keutamaan atau nilah lebih yang terkandung di dalamnya. Seperti terdapat dalam surat At-Tin Ayat 2-3
Kedua, ada unsur manfaat dalam konteks ayat, seperti pada surat At-Tin ayat 1
Ada tiga pendapat tentang sumpah Allah dengan nama makhluk-Nya :
1) Dari struktur kebahasaan. Pada kata-kata sumpah tersebut sebenarnya ada kata yang dihilangkan. Yaitu mudhaf-nya. Contoh :
2) Kultur Arab yang mempunyai anggapan yang agung pada kata-kata yang dijadikan lafadz qasam tersebut. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan nama-nama benda tersebut dalam sumpahnya. Al-Qur’an turun dengan memakai lafadz sumpah yang biasa mereka ungkapkan dan telah mereka kenal agar lebih mudah mereka pahami.
3) Sumpah ini menunjukkan sesuatu yang Maha Agung, sedangkan tidak ada lagi yang Agung selain Allah swt. Maka Allah bersumpah dengan nama makhlukNya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua makhluk itu ada yang menciptakannya. Sehingga pada dasarnya perbuatan lafadz makhluk dimaksudkan menyebut Dzat-Nya.
Penafsiran yang mendalam telah banyak dilakukan oleh para ulama dalam menyikapi makna hakiki dari sumpah Allah ini, baik pada aspek muqsam bih atau muqsam ‘alaih ataupun menyangkut keduanya. Semuanya sepakat bahwa sumpah-sumpah tersebut memiliki makna multidimensial. Oleh karena itu menutup kemungkinan munculnya interestasi baru terhadap pemahaman mengenai qasam ini, ataupun untuk memperkuat penafsiran serta pemahaman yang telah ada.
Diantara interprestasi yang muncul adalah bahwa ada keterkaitan yang sangat penting antara muqsam bih dengan muqsam ‘alaih. Sumpah bukan hanya untuk memperkuat, tapi juga untuk menjaga konsistensi kebenaran itu sendiri hingga akhir. Ketika Allah bersumpah atas nama waktu, maka Allah menjelaskan kebenaran tentang sesuatu yang abstrak namun memiliki nilai penting dalam kehidupan. Atau mengenai akhirat yang kebenarannya pasti terjadi, sebagai hari akhir yang tidak lagi mempunyai batas waktu.
Unsur berikut adalah muqsam ‘alaih. Pada umumnya, setiap qasam harus diikuti dengan muqsam ‘alaih. Sebab, muqsam ‘alaih adalah untuk memperkuatnya. Namun, adakalanya suatu qasam tidak menyebutkan muqsam a’alaihnya secara jelas. Para ulama berpendapat untuk mencari wujud muqsam ‘alaih yang tersembunyi tersebut. Contohnya adalah surat An-Nazi’at ayat 1-6.


•   •               
1. Demi (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
2. Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
3. Dan (Malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
4. Dan (Malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang,
5. Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)
6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang Alam,

Muqsam ‘alaih yang tidak tercantum ini adakalanya disebabkan konteks pernyataan tersebut telah sempurna, atau muqsam bih yang ada telah mengidikasikan secara jelas muqsam ‘alaihnya. Seperti dalam surat al-fajr ayat 1-4.
           
1. Demi fajar
2. Dan malam yang sepuluh
3. Dan yang genap dan yang ganjil,
4. Dan malam bila berlalu.

Penyebab lain muqsam ‘alaih yang tidak tercantum adalah karena hal tersebut diterapkan oleh pernyataan yang disebutkan sesudahnya seperti surat Al-Qiyamah ayat 1-2.
       •  
1. Aku bersumpah demi hari kiamat,
2. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)

Jawab qasam tidak disebutkan karena disebutkan pada ayat sesudahnya yaitu :
   
Pada umumnya, sumpah Allah dalam Al-Qur’an senantiasa dicantumkan muqsam ‘alaih-nya. Seperti dalam surat Al-Balad ayat 1
    
1. Aku benar-benar bersumpah dengan kota Ini (Mekah),

Jawab qasam-nya adalah ayat sesudahnya, yaitu :
    

Dari topik, muqsam ‘alaih dapat dibedakan dua bagian : Pertama, bagian yang menyebut masalah keimanan. Kedua, masalah kemaslahatan. Ibn Al-Qasim telah menjelaskan keadaan muqsam ‘alaih dalam beberapa bagian sebagai berikut :
1) Sumpah Allah tentang kebenaran tauhid, iman dan Al-Qur’an. Seperti ayat Ash-Shafat ayat 1-4
   •    •  •   
1. Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya
2. Dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat),
3. Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran,
4. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.

2) Sumpah Allah tentang kebenaran Rasul-Nya. Seperti surat Yasin ayat 1-4

     •       
1. Yaa siin
2. Demi Al Quran yang penuh hikmah,
3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,
4. (yang berada) diatas jalan yang lurus,

3) Sumpah Allah tentang balasan janji, dan ancaman, seperti surat Adz-Adzariyat ayat 1-6
          •      •   
1. Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat.
2. Dan awan yang mengandung hujan,
3. Dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah.
4. Dan (Malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan
5. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.
6. Dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.

4) Sumpah Allah tentang keadaan manusia, seperti ayat Al-Lail ayat 1-5
    •         •    •   • 
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
2. Dan siang apabila terang benderang,
3. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
4. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,





5) Sumpah Allah tentang sifat manusia. Seperti surat Al-Ashr ayat 1-3
  •              
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Berdasarkan klasifikasi tersebut terlihat bahwa yang menjadi muqsam ‘alaih adalah pernyataan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang urgen dalam kehidupan manusia . dari kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa muqsam ‘alaih juga memiliki hikmah sebagaimana muqsam bih yang patut pula ditelaah. Pertanyaan yang mengemuka adalah apa yang tersirat di balik pernyataan muqsam ‘alaih yang dihantar oleh muqsam bin, terlebih lagi bila dikaitkan dengan universalkan Al-Qur’an.
Berdasarkan sighat muqsam yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka qasam terbagi menjadi dua :
Pertama, Qasam Dzahir yang bisa diketahui maksud pertanyaannya secara jelas menunjukkan ciri qasam-nya. Ciri tersebut adalah fi’il qasam atau la nahiliyah dan adanya muqsam bih.
Kedua, Qasam mudzman yakni qasam yang tidak diketahui dengan jelas bila ditinjau dari pernyataannya. Untuk mengetahui qasam semacam ini dapat ditempuh melalui dua cara.
Pertama dari lam mu’akadah yang tertulis dan menunjukkan rangkaian jawab qasam. Seperti pada surat Ali Imran ayat 86.
        •           
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka Telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun Telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.

kedua dari konteks makna keseluruhan ayat tersebut, seperti dalam surat Maryam ayat 71
         • 
Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.

Kedua pembagian tersebut dapa dipahami bahwa qasam merupakan bentuk pernyataan biasa yang tidak menunjukkan dengan jelas adanya qasam maupun jawabnya. Sehingga pernyataan tersebut bisa menjadi qasam dan bisa juga menjadi bentuk kalimat biasa (bukan qasam). Ada juga bentuk qasam-nya terlihat jelas, berikut jawabnya.
Pembagian dari segi maknanya juga ada dua, Pertama, qasam dengan ungkapkan khabar (jumlah khabariyah), yaitu ungkapan biasa tanpa adanya tuntunan tertentu secara jelas. Kedua, ungkapan thalabiyah (jumlah thalabiyah), yaitu permintaan yang mengandung tuntunan dengan jelas, baik berupa perintah maupun larangan.

4. Faedah Qasam dalam Al-Qur’an
Dari uraian diatas, dengan melihat contoh-contoh ayat yang menunjukkan adalah sighat qasam, tentunya hanya omong kosong belaka. Tentunya, dibalik itu semua ada hikmah atau faedah yang dipetik.
Diantara manfaat atau faedah yang dapat dipetik dari kajian tentang aqsam Al-Qur’an, sebagaimana yang disinyalir oleh Manna’ Al-Qatham dalam kitabnya Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an adalah untuk menghilangkan keraguan, kesalahpahaman, dan menegakkan hujjah, serta menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.
Sebab, kondisi masyarakat dimana Al-Qur’an diturunkan, pada waktu itu sedang diliputi oleh kepercayaan-kepercayaan menyimpang yang selama ini. Sehingga untuk menyadarkan mereka akan penyimpangan mereka perlu adanya penegasan-penegasan secara tidak langsung merangsang akal mereka untuk berfikir sesuatu yang seharusnya sehingga, kesadaran mereka adalah kesadaran murni tanpa adanya paksaan.

C. Penutup
Kajian tentang aqsam Al-Qur’an dengan contoh-contoh ada memberikan gambaran bahwa wahyu yang datang kepada manusia jauh dan kesan adanya paksaan untuk menerima kebenaran mutlak, melainkan telah diberikan kesempatan kepada manusia untuk memikirkannya melalui akal pikiran yang logis. Hal ini terlihat dengan banyaknya bentuk qasam Allah yang menggunakan nama makhluk, dimana penyebutannya itu adalah suatu yang benar-benar urgen untuk dipikirkan.

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung : Gema Risalah Press, 1989
Ahmad Badawi, Min Balaghat Al-Qur’an (Kairo Dar An-Nahdhah Al-Musriyah. 1950).
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya. Pustaka Progressif. 1997.
Al-Imam Ibn Al-Qasim Al-Tauziyah, Al-Tibyan Al-Qur’an, Beirut Dar Al-Fikr. 1979.
Badr Al-Din Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), j. I
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut : Dar Al-Ihya Al-‘Ilmiyah. 1989, j. II
Manna’ Khalil Al-Qatham, Mabahis fi ‘Ulmum Al-Qur’an, Beirut. Mansyurat Al-‘Ashari Al-Hadist, t.t

Credit By : Azr

1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu